Senin, 25 Februari 2013

RAAF Dalam Perang Korea


Pada hari minggu bulan Juni 1950 menjadi hari yang kelam bagi bangsa Korea. Tanpa pernyataan perang, Korea Utara menyeberang garis paralel 38 dan menginvasi Korea Selatan.
Perang Korea pun dimulai. Dunia pun terkejut dan pernyataan perang pun dikumandangkan oleh Sekjen PBB Trygve Lie di New York. Presiden Truman dari Amerika Serikat menunjuk Jendral Douglas MacArthur sebagai pimpinan semua tentara di Korea. Perintah pertama dari jenderal ini adalah menghancurkan semua pangkalan udara Korea Utara di atas garis paralel.

Jenderal tua ini sangat yakin jika udara berhasil dikuasai maka jalannya peperangan bisa dikontrol. Tapi pada saat perintah itu turun, AS hanya mempunyai pembom B-29 di Okinawa untuk mengebom dan tidak mempunyai pesawat serang darat jarak jauh. MacArthur langsung mengontak koleganya dari Australia, Jenderal Robertson, yang merupakan komandan British Commonwealth Occupational Forces di Jepang dan meminta Skadron 77 RAAF untuk menyerang pangkalan Korut. Skadron 77 RAAF merupakan satu-satunya skadron Mustang di Timur Jauh dan langsung siap untuk perintah serang.

Pada 30 Juni 1950, Perdana Menteri Menzies dan kabinetnya mengabulkan permintaan tersebut dan Australia pun ikut serta dalam Perang Korea. Skadron 77 berpangkalan di pangkalan Iwakuni, Jepang atau 200 km dari Korsel. Skadron ini dipimpin oleh Wing Commander Lou Spence pun langsung menyiapkan operasi dan menyiagakan pilot-pilotnya. Pada 1 Juli, perintah dari Australia tiba dan Skadron 77 ditempatkan di bawah 5th Air Force. Skadron 77 pada awal perang berkekuatan 26 Mustang dan 25 pilot. Pada keesokan harinya atau delapan hari setelah Perang Korea dimulai, skadron ini langsung melaksanakan tiga misi tempur sekaligus. Pada hari itu, empat Mustang dikirim untuk melindungi C-47 Dakota terbang dari Taejon, delapan Mustang mengawal 17 B-26 Invader ke Pusan, dan enam Mustang mengawal 9 B-29 Superfortress ke Yonpo yang merupakan pangkalan Ilyusin Korea Utara. Total hari pertama operasi, 16 sorti tempur dilaksanakan oleh Skadron 77.

Setelah Pyongyang dan Chinnampo diserang, PBB mulai beralih pada serangan ke darat dan membantu pasukan darat. Supremasi udara berhasil diraih oleh PBB dan memungkinkan menyerang posisi target musuh dimana saja di Korea. Skadron 77 pun mendapat tugas serangan darat dan misi pertama mereka berakhir dengan insiden friendly fire dimana skadron ini menghancurkan kereta amunisi logistik milik Korea Selatan di Pyongtaek. Pada 6 Juli, tiga Mustang dikirim untuk menyerang jembatan dengan dipertahankan oleh pasukan antipesawat Korut di Pyongtaek lagi dan berakhir memuaskan.

Pada hari yang sama, Spence mengirim satu flight pesawat Mustang sebagai fighter escort bagi B-26 dari Grup Pengebom Ketiga ke Seoul. Misi-misi terus berdatangan dan Skadron 77 mengakhirinya dengan keberhasilan. Korban pun mulai berjatuhan, Squadron Leader Graham Strout dari Adelaide menjadi pilot pertama RAAF dan Commonwealth yang gugur. Strout yang merupakan pilot senior kedua di skadron dan gugur saat memimpin empat Mustang dalam serangan darat di timur Korea.

Pada saat perang Korea dimulai, Skadron 77 dalam tahap transfer pulang ke Australia sehingga kekurangan pilot dan kru darat sehingga Jenderal Robertson meminta bantuan langsung ke pemerintah Australia. Sebanyak 12 Pilot bantuan pun tiba dari Australia dan semuanya merupakan veteran PD II berpengalaman bersama dengan 28 kru darat. Bantuan ground crews sangat berarti untuk mengurangi beban para ground staff yang harus bekerja 20 jam sehari untuk menyiapkan Mustang.

Diambang kemenangan
            Tentara Korea Utara terus menekan dan setelah Choniwon jatuh, mereka mengepung Taejon yang merupakan ibukota sementara Korea Selatan. Korea Utara harus melewati Sungai Kum yang merupakan halangan alam terakhir sebelum memasuki Taejon. Sayangnya dominansi mereka di perang darat tidak diimbangi dengan dominansi udara. Pada tanggal 12 Juli, empat Mustang dikirim Spence dan menghancurkan delapan tank Korut serta dilanjutkan dengan serangan ke jembatan di atas Sungai Kum di kota Kongju dimana skadron berhasil menghancurkan dua perahu penuh pasukan Korut dari Divisi 3 AD Korut. Serangan-serangan ke jembatan berhasil menghambat pergerakan pasukan Korut dan memberikan waktu bagi Divisi 24 AD AS yang nyaris hancur untuk menyiapkan pertahanan.

Di timur kota Taejon terletak kota Yongdong yang dipertahankan oleh Divisi Kavaleri 1 AD AS yang juga mempunyai kekuatan yang minim. Skadron 77 diperintahkan untuk melindungi perimeter pertahanan itu dan menggunakan napalm untuk diarahkan ke posisi tentara Korut. Tetapi dalam serangan besar-besaran pada 23 Juli, tentara Korea Utara berhasil merebut Taejon dan memukul mundur Divisi 24 ke Yondong dan disusul perintah penarikan mundur dua Divisi AD AS tersebut dari wilayah Taejon/Yongdong. Spence memerintahkan empat Mustang dan disusul kembali oleh enam Mustang untuk melindungi penarikan mundur itu ke wilayah pertahanan Pusan perimeter dekat sungai Naktong untuk konsolidasi.

Hanya dalam waktu delapan minggu setelah peperangan dimulai, tentara Korea Utara berhasil hampir menguasai seluruh wilayah Korea Selatan dan mengepung kota pelabuhan vital Pusan. Dari awal perang hingga Agustus 1950, Skadron 77 sudah melakukan 812 sorti serangan ke Korea Utara dengan hasil menghancurkan 182 truk, 30 kendaraan lainnya, empat lokomotif kereta, 13 penimbunan amunisi dan bahan bakar serta 35 tank. Penghargaan Legion of Merit diberikan oleh Wing Commander Louis Spence oleh General Stratemeyer, komandan AU AS di Timur Jauh.

Sayangnya tiga minggu kemudian pada 9 September 1950, Spence yang memimpin empat Mustang terbang misi ke Angang-ni tidak kembali ke pangkalan. Spence gugur dan menjadi pukulan telak bagi skadron, RAAF, dan Australia. Squadron Leader Richard Cresswell diangkat mengantikan Spence dan kebetulan Cresswell pernah memimpin skadron ini pada Perang Dunia II. Dalam seminggu setelah pelantikan, komandan baru ini langsung memimpin 11 misi tempur. Cresswell bersama Skadron 77 langsung memainkan peran vital mereka dan menyumbang 30% dari semua kekuatan udara PBB dalam mempertahankan Pusan Perimeter. Sebanyak empat flight pesawat Mustang dikirim setiap hari meskipun terjadi kemacetan besar di pangkalan Iwakuni karena semua pesawat-pesawat dari skadron-skadron USAF dan USN juga ditempatkan di sana.



Penggunaan kekuatan udara besar-besaran ini dipilih MacArthur untuk memberikan waktu bagi pasukan darat PBB berkonsolidasi dan membangun ulang kekuatan. Bahkan pada serangan ke Pyongyang pada 20 Oktober oleh AU PBB, 18 Mustang membantu “membersihkan” pangkalan AU Korut. Permasalahan yang dihadapi Skadron 77 di teater Korea adalah kurangnya peta navigasi. Flight leader harus membawa 32 peta yang ditempatkan di tas khusus untuk menentukan detail-detail dan lokasi target.

Cuaca yang buruk selalu menjadi penghalang terbesar yang membuat navigasi secara visual menjadi susah. Medan Korea sangat berat dengan rata-rata perbukitan ditambah seringnya hujan badai pada musim panas dan temperatur beku serta salju tebal pada musim dingin. Dikarenakan banyak sekali pesawat yang ditempatkan di Iwakuni dan di Taegu (pangkalan transit) membuat bahan bakar menjadi masalah vital lainnya. Kru darat dari skadron-skadron bersepakat dan mengoperasikan sistem “Cab Rank” dengan sistem antrian dalam pengisian bahan bakar, mempersenjatai dan membentuk flight

Yonpo–China Offensive
Dengan bergeraknya fron depan ke arah utara, Skadron 77 dipindahkan dari pangkalan Iwakuni ke Pohang di Tenggara Korea. Pemindahan ini mengurangi perjalanan Mustang sejauh 500 mil laut. Di pangkalan tersebut, Skadron 77 digabungkan dengan 35th Fighter Interceptor Group bersama dua skadron Mustang USAF lainnya yaitu Skadron 39 dan Skadron 40. Saat Cina turun ke teater Korea, AU PBB diperkuat oleh delapan skadron Mustang (satu Australia, enam Amerika Serikat dan satu Afrika Selatan). Dari pangkalan tersebut, Skadron 77 pada 5 November 1950 diarahkan air support controller untuk mendukung pasukan darat Australia dari 3 RAR di pertempuran Pakchon.

Peristiwa itu merupakan yang pertama kali skadron tempur RAAF mendukung pasukan darat Australia di Korea sehingga ada perasaan puas dan senang bisa mendukung pasukan sendiri. Pada 19 November, Skadron 77 pindah ke Yonpo dimana pada hari pertama langsung mendapat perintah mendukung Divisi 24 AD AS di Chongju di perbatasan Manchuria. Beberapa hari kemudian, Skadron 77 dengan dua skadron Mustang lainnya menyerang Mabes Korut di pantai timur Korea. November merupakan bulan yang sangat berat bagi PBB dimana semua fron pasukan terpukul mundur. Divisi 1 Marinir bersama Royal Marine Commando bahkan terkepung 12 divisi China pimpinan Jenderal Sung di Chosin Reservoir. (Alexsandro Aji Surya Utama)

Sumber : Angkasa

Turki Beli Sistem Intai Baru dari Israel

Pesawat AWACS Boeing 737-700 Turki
Pesawat AWACS Boeing 737-700 Turki
Sistem pengintai baru telah tiba di fasilitas Industri Kedirgantaraan Turki (Turkish Aerospace Industries), dan pengintegrasiannya pada pesawat militer yang Turki beli dari Amerika Serikat akan selesai dalam beberapa minggu kedepan. Korporasi Pertahanan dan Dirgantara Multinasional AS, Boeing, sebelumnya harus turun tangan guna menyelesaikan kebuntuan kerjasama antara Turki dan rezim Israel terkait pengadaan sistem intai tersebut.
Pada tahun 2002, badan pengadaaan alutsista Turki memerintahkan pembelian empat pesawat AWACS Boeing 737-700, radar darat dan sistem kontrol, ditambah dengan segmen kontrol darat untuk misi pelatihan, misi kru, dukungan misi dan pemeliharaan. Perusahaan Israel Elta Systems Ltd ditugaskan untuk memproduksi sistem pengukur elektronik (EMS) untuk empat pesawat tersebut. Kesepakatan itu dilaporkan menelan biaya sebesar 100 juta dolar AS.
Namun, Kementerian Israel untuk urusan militer menangguhkan proyek tersebut beberapa bulan lalu, setelah Elta menyelesaikan dua perangkat (total 4 perangkat). Keputusan kementerian Israel untuk memperbaharui proyek dengan Turki ini mungkin dapat berarti bahwa Israel telah mengakhiri larangan ekspor industri pertahanan ke Turki selama 2 tahun.
Airborne Warning and Control Systems (AWACS) adalah sistem radar yang dirancang untuk mendeteksi pesawat, kapal dan kendaraan pada jarak yang jauh. Mengontrol dan memberi perintah untuk pesawat tempur atau alutsista lain untuk melakukan serangan atau tindakan atas objek yang telah terdeteksi. Digunakan pada ketinggian yang tinggi, pesawat dan radar memungkinkan operator untuk membedakan antara ratusan pesawat sahabat (teman) dan pesawat musuh di jarak ratusan mil. Sistem yang digunakan secara ofensif ini akan membimbing pesawat tempur ke lokasi target mereka dan mempertahankan diri untuk mengatasi serangan dari pasukan musuh, baik dari udara maupun dari darat.

Mesin Retak, Pentagon Mengandangkan Seluruh F-35

Seluruh pesawat tempur F-35 Joint Strike Fighter (JSF) armada militer AS telah dikandangkan oleh Pentagon, karena didapati keretakan pada mesin di salah satu pesawat. Hal ini menjadi satu dari empat pukulan telak bagi program F-35 JSF, yang digadang-gadang menjadi pesawat tempur masa depan Pentagon, dalam dua setengah tahun terakhir.

"Pada 19 Februari 2013, dari pemeriksaan mesin rutin didapati retak pada pisau turbin (turbine blade) tekanan rendah dari mesin F-35 di pangkalan udara Edwards, California," tulis Kyra Hawn, juru bicara program F-35, dalam sebuah pernyataan.
F-35 A Lightning II
Petugas maintenance dari Skadron 33 memindahkan F-35A Lightning II dari jalur penerbangan dan masuk ke sebuah hangar di pangkalan udara Eglin, Florida, 27 Agustus 2012.

Pisau turbin yang rusak akan segera dikirm ke pabriknya Pratt and Whitney yang berbasis di Connecticut untuk dievaluasi dan di analisa secara menyeluruh untuk mengetahui akar penyebabnya," lanjut Hawn. "Masih terlalu dini untuk mengetahui apa dampak dari keretakan mesin ini, namun sebagai langkah pencegahan, semua operasi penerbangan F-35 telah ditangguhkan sampai penyelidikan selesai".

F-35 Sebelumnya Memiliki Masalah Pisau Mesin pada Tahun 2008

Pengandangan F-35 jelas mempengaruhi tahapan uji coba di Florida, California, New Jersey dan pelatihan percontohan awal di Florida dan Arizona. Pentagon memiliki sekitar 100 F-35 dari tiga versi: Model F-35A untuk Angkatan Udara, F-35B pendaratan vertikal milik Korps Marinir dan F-35C untuk Angkatan Laut yang berbasis kapal induk. Rencananya AS akan membeli total 2.400 F-35 dalam 30 tahun kedepan dengan biaya lebih dari 1 triliun dolar AS, termasuk pelatihan dan pemeliharaan.

Program Lockheed Martin F-35 telah dilanda biaya yang membengkak, keterlambatan produksi dan permasalahan pada desain (kesalahan desain). Nyatanya, langkah untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut salah satunya ditempuh dengan mengurangi spesifikasi pesawat. Meskipun begitu, tetap mempertahankan fitur siluman, kecepatan manuver dan jarak tempuh (jangkauan).

Semua F-35 pernah dikandangkan sementara pada akhir tahun 2010 dan lagi pada tahun 2011 karena pompa bahan bakar yang rusak. Bulan lalu, F-35B milik Korps Marinir AS mengalami kegagalan mesin yang akhirnya diketahui penyebabnya adalah saluran bahan bakar yang buruk. Setiap pengandangan berarti itu penundaan untuk F-35 di uji coba dan imbasnya juga akan memperlambat kehadirannya di garis depan pertempuran sesungguhnya. Untuk Saat ini Pentagon mentargetkan F-35 siap pada tahun 2018 atau 2019.

Kenyataannya bahwa ketiga model JSF bermesin sama persis, artinya retak pada satu F-35 juga merupakan kemungkinan retak pada F-35 yang lain. Pentagon pernah pada suatu waktu berencana untuk menggunakan dua mesin untuk F-35 yang berbeda, yaitu mesin dari Pratt Whitney dan saingannya General Electric. Tapi setelah pertarungan sengit di pentas politik dan rekomendasi militer, Kongres akhirnya menghentikan pembicaraan mengenai mesin alternatif untuk F-35 dua tahun lalu dengan alasan biaya. Jika hal tersebut terjadi, kemungkinan tidak akan seperti saat ini.

PRODUKSI MESIN F 119 UNTUK F-22 RAPTOR BERAKHIR

Pratt & Whitney Military Engines yang merupakan produsen sekaligus penyuplai mesin F 119 Angkatan Udara AS untuk F 22 Raptor akan mengakhiri  kerjasamanya setelah perusahaan tersebut memberikan produksi mesin F 119 yang ke 507 sebagai mesin terakhir untuk AU-AS .seremoni pengiriman mesin F 119 terakhir tersebut diadakan di Middletown, Conn. Engine Center.yang dihadiri oleh perwakilan AU,Lockheed Martin dan Boeing. Pratt & Whitney adalah perusahaan  United Technologies Corp (NYSE: UTX).

“ini merupakan kesempatan yang pahit bagi kita yang telah berperan selama 12 tahun sebagai penyuplai mesin yang sukses.demikian di ungkapkan oleh presiden Military  Engine Pratt & Whitney Bennet Croswell.Produksi mesin F 119 mungkin akan berakhir tapi kami berharap untuk jangka waktu 30-40 tahun untuk memelihara kerjasama dalam kemitraan dengan Angkatan Udara untuk mentenen armada terbang.
Turbofan F 119 –PW-100 adalah mesin pesawat tempur generasi ke lima yang beroperasi pertama di Dunia yang dalam pelayanan dan memberikan kekuatan yang baik untuk F-22 Raptor.sebuah pesawat yang dikenal dengan manuver yang tak tertandingi.Mesin ini juga termasuk yang paling sukses di Angkatan Udara AS sebagai mesin nenek moyang dari sistem propulsi mesin F-135 di pesawat F-35 Lightning II.
Meskipun kerjasama sudah berakhir Sebagai kesinambungan kemitraan dengan Angkatan Udara Pratt & Whitney akan mengelola jadwal  overhaul armada mesin F 119 di pusat Logistik Angkatan Udara di Oklahoma.
"Kami menerima ini mesin produksi terakhir hari ini, tapi berharap untuk kemitraan kami dengan Pratt & Whitney dalam memainten F119 di F-22 Raptor selama beberapa dekade yang akan datang," kata Kolonel Gregory M. Gutterman, Direktur Program F-22,Direktorat  Fighters dan Bombers, Komando material Angkatan Udara, saat upacara Jum’at lalu.
F-35 Lightning II
Pratt & Whitney adalah pemimpin dunia dalam pembuatan, desain dan pelayanan mesin pesawat, sistem propulsi ruang danIndustri  turbin gas. United Technologies, berbasis di Hartford, Conn, adalah perusahaan yang menyediakan beragam produk teknologi tinggi dan layanan kepada kedirgantaraan global dan industri bangunan.

MBT T-90MS TAGIL,TANK RUSSIA VERSI TERBARU

T-90MS Tagil
T-90MS merupakan versi terbaru dari MBT T-90T ia juga menyandang sebutan “TAGIL”.MBT T-90MS juga merupakan vaersi modern yang telah memiliki sejumlah peningkatan kemampuan operasional melebihi pendahulunya.T-90MS diperkenalkan pada 2011.Tank ini dimaksudkan untuk kebutuhan alutsista Angkatan Darat Russia dan juga disediakan untuk operator ekpor termasuk India.
 Strategi dan Alutsista Militer  Strategi dan Alutsista Militer
Turet pada MBT T-90MS TAGIL telah mengalami upgrade untuk survivabilitas dengan menambahkan bustel turet.Mesin tempur ini memiliki lapis baja komposit baru dan juga ERA (Explosive Reacktive Armor ).dilengkapi juga dengan sistem penangkal  Shtora-1 yang secara signifikan dapat mengurangi kemungkinan dilumpuhkan oleh senjata kendali semi otomatis tank musuh.Seperti biasanya tank ini dilengkapi dengan sistem perlindungan NBC dan sistem pemadam api otomatis,interior Tagil dilapisis dengan liner spall.
  Strategi dan Alutsista Militer  Strategi dan Alutsista Militer
T-90MS dipersenjatai dengan senjata terbaru dengan meriam smoothbore yang memiliki akurasi tinggi ukuran 125 mm.Meriam ini telah meningkatkan jangkauan tembak dari meriam sebelumnya.T-90MS menembakan amunisi  APFSDS, HE dan HE-Frag.Tagil juga mampu menembakan senjata kendali anti tank 9K119 Refleks (sebutan NATO AT-11 Sniper-B) dengan cara yang sama seperti amunisi biasa.Rudal ini juga memiliki jagkauan 4-5 km dengan melibatkan target helicopter yang terbang rendah.T-90MS membawa sebanyak 40 butir amunisi untuk meriam utama.Tagil juga menggunakan autoloader tipe carousel.Seperti pendahulunya T-90MS menyimpan 22 amunisi dalam autoloader dan siap untuk digunakan dan sisanya disimpan pada bustel turet baru dengan kompartemen yang berbeda dengan kompartemen kru untuk menghindari ledakan.
  Strategi dan Alutsista Militer  Strategi dan Alutsista Militer
Persenjataan sekunder terdiri dari senapan koaksial 7,62 mm dengan stasiun kendali senjata jarak jauh ( remotely control ).terdapat dua pucuk senjata kaliber 7,62 mm yang terletak pada bagian lain.T-90 MS memiliki sistem pengintaian dan perangkat pembidik yang telah diperbaharui.Tank ini juga memiliki kemampuan memburu dan membunuh (melumpuhkan) dengan melacak target yang dipilih secara otomatis.hal ini dpat diklaim bahwa T-90 MS lebih akurat daripada pendahulunya.
  Strategi dan Alutsista Militer Strategi dan Alutsista Militer
MBT ini dioperasikan oleh tiga orang kru termasuk Komandan,Penembak dan Pengemudi.
  Strategi dan Alutsista Militer Strategi dan Alutsista Militer


Tagil T-90 MS didukung dengan mesin diesel turbocharged  V-92S2F terbaru dengan pengembangan kekuatan  1130 hp.mesin ini digabungkan dengan transmisi otomatis 7 untuk maju dan 1 untuk mundur.Tank ini juga telah meningkatkan sistem suspensi dan drivetrain.kecepatan maksimum Tagil melebihi pendahulunya.Tagil juga dilengkapi dengan unit daya tambahan yang memungkinkan pengoperasian ketika mesin dalam keadaan mati.Tagil dilengkapi dengan kit rendam kedalaman yang dapat di instal oleh awak tank dalam waktu 20 menit sehingga dapat melampaui rintangan air dengan kedalaman 5 m.Tank ini juga dapat dilengkapi dengan pisau dozer.

SPESIFIKASI
Masuk Layanan
?
Kru
3 Orang
Berat
48 ton
Panjang + meriam
10 m
Panjang hull
6,8 m
Lebar
3,5 m
Tinggi
2,3 m
Senjata utama
Smoothbore 125 mm/40 rounds
Senapan mesin
2 x 7,62 mm/2800 rounds
ATGW
9K119M (AT 11 Sniper B)
Mesin
Diesel V-92S2F
Tenaga
1130 hp
 

Minggu, 17 Februari 2013

Indonesia Segera Diperkuat 2 Sukhoi SU-30MK2 Baru

Direktur Jendral Perusahaan “Rosoboronexport” Anatoly Isaikin menyatakan, "Kerja sama Indonesia-Rusia dibidang teknik militer berkembang sudah lama dan terus meningkat," kepada koresponden GATRAnews di Moskow, Svet Zakharov, saat jumpa pers di Kementerian Luar Negeri Rusia.
Isaikin menyatakan Indonesia-Rusia telah menandatangani kontrak untuk pasokan enam buah pesawat tempur jenis Sukhoi yaitu SU-30MK2. Pesawat tempur itu akan didatangkan ke Indonesia pada waktunya sesuai dengan kontrak. demikian pernyataan pers yang diterima Sabtu (16/2). Menurut informasi yang diperoleh oleh Gatranews dari Atase partahanan Indonesia di Moskow, Kolonel Andi Kustoro dua buah pesawat tempur Sukhoi akan diberangkatkan tanggal 21 Pebruari mendatang, dari pabrik pembuatannya ke Makasar dengan pesawat raksasa Antonov. "Di sana kemudian pesawat Sukhoinya akan dirakit," tutur Andi.
Lebih lanjut, Isaikin menyebutkan tak hanya Sukhoi, Indonesia-Rusia juga mengadakan kerja sama pasokan persenjataan lainnya. "Dengan Indonesia. seperti dengan negeri-negeri lainnya, kerjasama kita berkembang aktif dewasa ini pada dua jurusan: yaitu layanan setelah penjualan dan transfer teknologi tertentu," kata Isaikin.
Indonesia, lanjut Isaikin, sebagai kebayakan negeri yang ekonominya maju terus, sudah sewajarnya berkepentingan untuk mengembangkan industri sendiri, termasuk industri militer. "Maka saah satu syarat kerja sama kita adalah terjadinya transfer teknologi dibidang teknik militer. Dalam mempertimbangkan kontrak dan usulan dari pihak Indonesia kami pasti memperhitungkan dan mencantumkan dalam kontrak itu pekerjaan bersama dengan perusahaan-perusaaan industri militer Indonesia," tutur Isaikin.
Salah satu program kerja sama yang sekarang sedang digalakkan adalah program ”Rosoboronexort”. "Program ini mengirimkan delegasi-delegasi Rusia ke sejumlah perusahaan industri militer yang leading. Program ini juga termasuk di dalamnya produksi teknik, reparasi teknik angkatan udara, darat dan laut. Saya beranggapan, tegas Anatoly Isaikin, bahwa kerjasama teknik militer kami dengan Indonesia, berada pada tingkat yang sangat baik dan ada prospeknya kerjasama dengan perusahaan kompleks industri militernya adalah cerah.

Selama 2012 lalu, lanjut Isaikin, lewat program ”Rosoboronexport” Rusia telah bekerjasama dengan 60 negeri dan memasok produksi tujuan militer senilai US$ 12,9 milyar, yang melebihi tahun 2011 sebesar 20%. Bagian terbesarnya adalah teknik dirgantara. Sebanyak 43% pasokan militer berada di negara-negara kawasan Asia Pasifik, wilayah Timur (23%), Afrika Utara (23%) dan Amerika Latin (18%).



Sumber : Gatra

Jumat, 15 Februari 2013




Ajakan Pemerintah Korea Selatan yang disampaikan pertengahan 2010 di Jakarta diterima dengan senang hati oleh Kementerian Pertahanan Indonesia. Karena memang punya keinginan memenuhi kebutuhan alut sista secara mandiri, ajakan membuat pesawat tempur generasi 4,5 tersebut disambut bak peluang emas. Kedua pihak menyadari kemandirian di bidang pertahanan bisa memperkokoh industri dalam negeri, memangkas ketergantungan pada sistem senjata strategis dari  luar dan mendongkrak deterrent sistem pertahanan nasional. Meski gayung sudah bersambut, namun merealisasikan jet tempur berkode KFX/IFX ini tak semudah membalik telapak tangan. Berikut laporan A. Roni Sontani dan A. Darmawan tentang status terkini dari program yang amat prestisius ini,  langsung dari “dapurnya”.
          
 Singkat cerita, proyek bilateral ini sudah berjalan dan berlangsung lebih kurang satu setengah tahun. Selama kurun waktu tersebut  konsep jet tempur masa datang generasi 4,5 ini telah diurai dan disusun menurut kebutuhan operasional sistem pertahanan Korea dan Indonesia. Program dikatakan menelan anggaran 8 miliar dolar AS, dimana Indonesia akan menanggung 20 persen sementara sisanya akan dipikul Korea. Dalam perjanjian juga disepakati, Indonesia berhak membeli 50 unit pesawat, sementara Korea Selatan 150 unit. Dan, jika pesawat ini dibeli negara lain, kedua pihak akan berbagi royalti.
            Perancangan front-liner fighter yang bakal beroperasi setelah 2020 ini dipusatkan di KFX/IFX Research Center, Daejeon, 160 km sebelah selatan ibukota Seoul. Di sini telah berkutat dan saling bertukar-pikiran 140 enjinir dari kedua negara, di mana 30 persennya berasal dari Indonesia. KFX/IFX tak lain adalah singkatan dari Korea Fighter Experiment/Indonesia Fighter Experiment. Korea Selatan sendiri ingin Turki ikut bergabung, namun negeri ini mengundurkan diri setelah sebelumnya sempat menyatakan tertarik.
            Menurut pihak Defence Acquisition Program Administration (DAPA) Korea Selatan, jet-jet tempur baru ini akan menggantikan jajaran F-4 Phantom dan F-5 yang sudah menua. Korea tertarik mengajak Indonesia, karena Indonesia merupakan sahabat yang tak memiliki problem politik dan batas wilayah. Telah mampunya Indonesia membuat sendiri pesawat terbang dan adanya hubungan dagang di antara kedua negara, juga menjadi faktor penentu. (Lebih jauh, baca Angkasa, edisi Oktober 2010)
            Dalam Lokakarya Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional RI (Depanri) 20 Desember 2012 di BPPT, Jakarta, perjalanan dan pencapaian sementara program ini untuk pertama kalinya dipaparkan secara terbuka. Di hadapan pejabat Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional RI (Depanri), Kemenristek, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), Lapan, PT Dirgantara Indonesia dan TNI AU, Kapuslitbang Kementerian Pertahanan, Prof. Dr. Eddy S. Siradj, menjelaskannya cukup gamblang.
            “Hingga Desember 2012,  program sudah sampai tahap Technology Development. Tahapan ini sudah selesai. Setelah ini kami berharap bisa lanjut ke tahapan berikutnya, yakni Engineering Manufacturing Development,” ungkapnya kepada Angkasa usai lokakarya.




Sudah Dikuasai, Hampir Seluruh Teknologi KFX/IFX

             Bukan rahasia lagi, pertanyaan terbesar di seputar pembuatan KXF/IFX adalah: Apakah Korea Selatan atau Indonesia sudah menguasai teknologi jet tempur generasi ke-4,5? Menanggapi keraguan ini, Prof. Dr . Mulyo Widodo menjawab mantap, jangan khawatir, Korea Selatan sudah menguasai hampir seluruh teknologinya. Mereka gigih mengembangkan sendiri pesawat tempur, dan semua ini tak lepas dari kesiapan industri kedirgantaraan (Korea Aerospace Industries) serta lembaga penelitian yang berdiri di belakangnya.
              “Meski sebagian lagi (teknologi) masih dicari, kami percaya Korea bisa meraihnya. Mereka punya road-map yang jelas dalam proyek pengembangan jet tempur. Mereka sudah memulainya dengan KT-1, lalu T-50, TA-50 dan setelah itu: FA-50. Lebih dari itu mereka juga punya belasan veteran NASA dan USAF yang jadi tempat bertanya. Mereka kini dosen di sejumlah perguruan tinggi,”  tuturnya dalam Lokakarya Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional RI, 20 Desember lalu di BPPT, Jakarta.
              Menurut salah seorang pakar kedirgantaraan dari Institut Teknologi Bandung yang juga ditunjuk membidani front liner fighter itu lagi, inti dari teknologi jet tempur generasi 4, 4,5 maupun 5 adalah elektronik dan material penyerap gelombang radar. Elektronik dalam arti avionik untuk mengendalikan penerbangan dan misi serangan, sementara material penyerap gelombang radar bisa digambarkan sebagai “kulit pesawat” yang bisa menyerap gelombang elektromagnet radar penjejak pesawat.
              Angkasa mencatat, kedua teknologi inti itulah yang sejatinya diandalkan pesawat stealth (siluman) macam F-117A Nighthawk, F-22A Raptor dan F-35. RAM atau Radar Absorbent Material bisa menekan angka Radar Cross Section hingga kecil sekali sehingga radar seolah tak sanggup “melihatnya”. Di lain pihak,  tubuh pesawat dan rumah mesin juga perlu dibentuk sedemikian rupa agar gelombang radar  terpantul menjauh. Kalau pun bentuk pesawat menjadi tidak aerodinamis dan tidak stabil seperti yang “dialami” F-117A,  hal ini bisa diatasi dengan avionik khusus yang bisa mengendalikan penerbangan.
               “Kami memang belum menguasai soal material penyerap gelombang radar. Tetapi, untungnya Korea sudah punya kemampuan yang sangat tinggi di bidang elektronik. Chip paling rumit bahkan sudah dibuat di Samsung Industrie. Itu sebab KFX/IFX hanya diputuskan sampai sebatas generasi 4,5,” ungkap Prof. Widodo seraya menjelaskan bahwa material penyerap gelombang radar ini lah yang seyogyanya akan mendongkrak teknologi pesawat  ke generasi 5.
              Begitu pun  Tim KFX/IFX  akan membekalinya dengan perangkat elektronik yang  bisa menuntun pesawat mengelak dari radar. Sayap vertikalnya juga dibuat miring (canted vertical tail) untuk gelombang radar tak mampu menjejak bagian yang paling rawan ini. Angkasa mendapat konfirmasi, desain pasti KFX/IFX sudah ada, namun baik pihak Korea maupun Indonesia belum mau mempublikasikannya. Kalau pun selama ini ada beberapa desain yang dimuat di situs-situs internet, gambar-gambar itu dikatakan baru sebatas rekaan yang mendekati. Hampir semua gambar rekaan ini merujuk ke  F-35 dan F-22.
              Ketika program ini digelindingkan, sempat ada pemikiran untuk membuat F-16 dari versi yang lebih canggih. Mereka menyebutnya dengan F-16 Plus. Dibanding F-16 versi reguler, F-16 Plus memiliki keunggulan performa, kecepatan jelajah (super cruise) dan agak stealth. Tetapi, dalam perjalanan, konsep ini ditinggalkan lalu dialihkan ke  jet tempur generasi ke-4,5 yang benar-benar baru. Pesawat ini jauh lebih unggul dari F-16 Plus.




Sekjen Kemhan Marsdya TNI Eris Herryanto:
“Program KFX/IFX Tetap Berjalan”


     Di tengah berbagai pemberitaan mengenai dilanjutkan atau tidaknya program pembuatan pesawat tempur generasi 4,5 antara Korea dan Indonesia (KFX/IFX), bulan lalu Angkasa menemui Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsdya TNI Eris Herryanto di ruang kerjanya. Perwira tinggi TNI AU yang ikut membidani kerjasama ini menyatakan keyakinannya bahwa Program KFX/IFX tidak akan berhenti di tengah jalan.
     Eris menilai, Korea punya komitmen dan kepentingan yang besar terhadap Indonesia. Sehingga, pemerintahan negeri ginseng itu tidak akan begitu saja membatalkan kesepakatan yang telah dibuat. Tidak hanya terbatas pada kerjasama KFX/IFX dan pembelian pesawat lainnya dari Korea, kerjasama Indonesia dengan Korea juga terjalin baik dalam hal perdagangan maupun kerjasama teknologi lainnya. Pembelian tiga kapal selam dari Korea untuk memperkuat armada TNI AL adalah salah satunya, di mana ratusan teknisi PT PAL telah dikirim ke Korea untuk menyerap teknologi pembuatan kapal selam yang nantinya akan membuat satu dari tiga kapal selam yang dibeli dari Korea itu di Indonesia.
     “Korea berkepentingan dengan Indonesia. Contoh kecil saja, rakyat Korea yang ada di Indonesia itu sekitar 45.000 orang tersebar di berbagai industri. Masa, mereka akan begitu saja membatalkan kerjasama KFX/IFX,” ujarnya. Berikut kutipan wawancaranya.

Sudah sejauh mana Program KFX/IFX ini berjalan?
     Program KFX/IFX dimulai dengan tahapan Feasibility Studies Phase, Technical Development Phase, Engineering Manufacturing Development (EMD) Phase, Production, serta Upgrade. Sekarang ini kita masuk ke tahap kedua, EMD. Harusnya dimulai Januari 2013, tapi diundur sekitar satu setengah tahun. Mengapa diundur, ini yang sedang kami teliti juga. Tapi pihak Korea sudah melakukan pemberitahuan resmi kepada kami. Penjelasannya, bahwa Korea sekarang sedang melakukan penjajakan untuk membeli pesawat tempur generasi kelima. Kompetitornya saya dengar adalah F-35 dan F-15. Tapi sumber lain mengatakan ada Eurofighter Typhoon juga. Yang dimaksud generasi kelima di sini adalah pesawat-pesawat dengan avionic suite tercanggih, tidak semata-mata karena faktor stealth saja.

Mengapa hal ini “menghambat” Program KFX/IFX?
     Begini, Korea itu sama dengan negara kita. Kalau mau beli pesawat, mereka mensyaratkan juga harus ada Transfer of Technology (ToT). Harus ada offset. Nah, salah satu offset yang ingin mereka dapatkan dari pembelian pesawat generasi kelima itu salah satunya adalah teknologi yang bisa diterapkan di KFX/IFX. Contohnya radar. Korea sedang berusaha agar dapat offset untuk diberi teknologi radar AESA. Radar ini nantinya akan digunakan pada KFX/IFX. Itu bargain mereka. Kita tahu, Korea itu negara yang dalam posisi siaga perang, selalu dalam ancaman. Sementara beberapa pesawat tempurnya sudah mau habis masa pakainya. Contohnya F-5. Kalau mereka harus menunggu KFX terlalu lama waktunya. Itu penjelasan mereka kepada kita.

Kalau mereka tidak dapat offset, berarti KFX/IFX terbengkalai?
      Kalau tidak dapat, konsekuensinya mungkin mereka akan beli radar itu. Saya tidak tahu persis. Selain radar, juga ada teknologi-teknologi lain yang mereka butuhkan. Mereka sebut ada delapan item yang akan mereka ambil ToT-nya. Mungkin juga soal mesinnya, dan rudalnya. Itu tidak disampaikan kepada kita. Yang jelas mereka bilang bahwa mereka akan konsentrasi dulu ke pembelian pesawat generasi kelima. Targetnya 1,5 tahun selesai. Dimulai awal tahun 2013 ini.

Sumber : Angkasa

Ketika Pasukan Gerilya Pak Dirman Disergap P-51 Mustang


Pada bulan Desember 1948 militer Belanda yang masih bercokol  di Indonesia khususnya di Pulau Jawa melancarkan agresi militer kedua bersandi Operation Kraai. Serbuan militer yang dirancang oleh Kepala Staf Angkatan Darat Belanda yang berkuasa di Indonesia, Jenderal Simon Spoor, itu langsung menggegerkan rakyat Indonesia yang baru tiga tahun memproklamirkan kemerdekaan.
Agresi militer Belanda kedua  yang disebut sebagai Aksi Polisional (Politionele Acties)  yang dilancarkan pada 19 Desember 1948 itu diklaim militer Belanda sebagai upaya melumpuhkan aksi kekerasan yang terus berlangsung sejak Perjanjian Linggarjati di Istana Merdeka, Jakarta  pada 15 Desember  1946 disusul kesepakatan damai melalui  Perjanjian Renville. Salah satu poin Perjanjian Linggarjati adalah Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia  yang meliputi Pulau Jawa, Sumatra, dan Madura.
Karena pada prinsipnya semangat Pemerintah Kerajaan Belanda adalah menguasai kembali seluruh wilayah Indonesia yang pernah dijajahnya, Operation  Kraai pun memiliki semangat serupa. Operation Kraai  yang dilaksanakan di Jawa dan Sumatra  itu bertujuan melumpuhkan kekuatan militer Indonesia dan sekaligus menawan para pemimpin RI, Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Ketiga petinggi itu berkantor di Yogyakarta yang telah dijadikan ibukota RI sejak 4 Januari 1946.
Sebagai ibukota negara dan markas Tentara Kemanan Rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, Yogyakarta menjadi sasaran utama Operation Kraai. Agresi militer Belanda II di Yogyakarta  berdasar pada operasi intelijen yang cermat sehingga dalam operasi yang bersifat dadakan (blitzkrieg) itu sasaran musuh akan bisa dikuasai dalam tempo kilat dengan korban di pihak penyerang seminimal mungkin. Pasukan Belanda yang bertugas menyerbu Yogyakarta dipusatkan di Pangkalan Udara Andir, Bandung dan dipimpin oleh Jenderal Meyer. Kekuatan pasukan terdiri dari 800-900 pasukan Para Komando dan didukung oleh 23 pesawat transpor Douglas DC, sejumlah pesawat pembom B-25 Mitchell, pesawat tempur P-51 Mustang, dan P-40 Kittyhawk.
Serbuan udara terhadap Kota Yogyakarta dimulai pada waktu pagi hari tepat pukul 05.45 terhadap Lapangan Udara Maguwo yang minim pertahanan. Saat itu Badan Keamanan Rakyat (BKR) Udara baru terbentuk pada 5 Oktober 1945 dan dipimpin Komodor Udara Suryadarma. Kondisi BKR Udara saat itu masih minim  sumber daya manusia serta peralatan terbang. Namun demikian di Lanud Maguwo telah berdiri Sekolah Penerbang yang berdiri sejak 1 Desember 1945 menggunakan pesawat-pesawat bekas Jepang yang sudah dimodifikasi.
Ketika berlangsung serbuan udara yang dilancarkan oleh pesawat-pesawat tempur  Militaire Luchtvaart (ML)-KNIL, di pangkalan terdapat  tiga pesawat Zero bekas Jepang dan sekitar 37 kadet (siswa penerbang) serta sekitar 150 pasukan pertahanan pangkalan yang dalam kondisi tidak siap tempur. Hanya ada beberapa senapan dan satu senapan antiserangan udara kaliber 12.7 mm.
Semua pesawat MI-KNIL  terbang dari Lanud Andir. Dan agar penerbangan puluhan pesawat itu berlangsung rahasia, semua pesawat terbang di atas Lautan Samudra Hindia dan begitu berada di atas Pantai Selatan, Yogyakarta mereka langsung melesat ke utara  menuju Maguwo. Dalam hitungan detik pesawat-pesawat Mustang dan Kitty Hawk  langsung menghujani pangkalan udara dengan bom serta tembakan senapan mesin. Serangan udara militer Belanda itu sengaja menghindari kerusakan pada landasan agar bisa digunakan mendaratkan pesawa-pesawat  transpor.
Sejumlah “pasukan Para” berupa boneka tiruan juga diterjunkan untuk mendeteksi asal tembakan yang dilepaskan pasukan BKR Udara di darat sehingga pesawat-pesawat tempur bisa menyapunya menggunakan senapan mesin. Serbuan udara yang berlangsung sekitar 25 menit segera melumpuhkan pertahanan yang berada di Lanud Maguwo. Pada pukul 06: 45 pasukan Para Komando mulai diterjunkan dalam dua gelombang dan untuk selanjutnya mengoperasikan Lanud Maguwo sebagai pusat pangkalan aju untuk menguasai Yogyakarta dan sekitarnya. Setidaknya 128 pasukan RI gugur dalam opersai serbuan kilat itu sedangkan dari pihak Belanda belum ada satu personel pasukan pun yang gugur.

Perang gerilya
Operasi serbuan udara dilanjutkan serbuan darat oleh pasukan Belanda itu segera diketahui oleh Panglima Besar Sudirman (Pak Dirman) yang sedang berada di markasnya, Jalan Bintaran, Yogyakarta, sebelah selatan Keraton Yogyakarta. Pada saat itu Pak Dirman sedang dalam kondisi sakit setelah menjalani operasi paru-parunya akibat terserang penyakit TBC. Tindakan operasi itu memutuskan untuk tidak mengaktifkan salah satu paru-paru sehingga Sudirman hanya bisa menggunakan salah satu paru-parunya dan masih dalam kondisi sangat lemah.
Menanggapi serangan Belanda itu, Pak Dirman kemudian mengeluarkan Perintah Siasat agar semua pasukan BKR tetap melakukan perlawanan melalui perang gerilya. Sudirman juga sempat menghubungi presiden, wapres, dan para stafnya untuk segera meninggalkan Yogyakarta, tapi himbauan Pak Dirman itu ternyata ditolak. Presiden Sukarno dan para staf seperti sejumlah menteri memilih bertahan di kota dan akhirnya ditawan oleh militer Belanda untuk selanjutnya diasingkan di Sumatra serta Bangka.
Salah seorang anggota staf penting di lingkungan Sekretariat Markas Panglima Besar yang juga pengawal pribadi Pak Dirman, Kapten  Tjokropranolo yang lebih akrab dipanggil Pak Nolly, segera mengontak Penasehat Politik Panglima Besar, Harsono Tjokroaminoto, yang juga mantan Menteri Muda Pertahanan semasa Kabinet Sjahrir III (1946-1947) untuk segera menghadap. Kebetulan Harsono waktu itu juga sedang terserang penyakit desentri dan selama seminggu hanya bisa terkapar di tempat tidur. Isteri Harsono yang menerima telepon dari Nolly kemudian menjawab bahwa suaminya belum bisa bangkit.
Tapi karena kondisi sedang genting Nolly tetap mengharuskan Harsono hadir di markas dan akan dijemput oleh sopir menggunakan mobil Panglima Besar. Harsono tak bisa menolak ketika mobil yang menjemputnya tiba. Dengan susah payah ia pun berangkat. Rute perjalanan yang ditempuh mulai dari Jalan Taman Yuwono - Jalan Malioboro - Istana Presiden – lalu belok kiri melintasi Kantor Pos-Pakualaman - dan Jalan Bintaran. Selama perjalanan menuju Bintaran bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur Belanda terutama di sisi timur kota di seputar kawasan Maguwo ledakannya terasa makin mendekat.
Tujuan bombardemen Belanda itu selain mencari sasaran yang bernilai militer juga bertujuan meruntuhkan moril tempur pasukan Indonesia agar tidak bisa memberikan perlawanan. Tapi karena Bintaran lokasinya masih dekat keraton dan militer Kerajaan Belanda masih sangit menghormati Keraton Yogyakarta sebagai wilayah netral, tak ada stu bom pun yang jatuh di seputar kawasan keraton. Ketika tiba di kediaman Pak Dirman, Harsono langsung menuju kamar tidur Pak Dirman yang waktu itu ditunggui oleh Nolly.
Dalam kondisi fisik yang lemah  Pak Dirman menceritakan semua peristiwa yang baru saja terjadi di Yogya dan sebagai panglima besar yang juga menjadi incaran militer Belanda, ia memutuskan meninggalkan Kota Yogyakarta. Tujuan utama perjalanan Pak Dirman dan rombongannya adalah daerah Gunung Kidul, kawasan berbukit-bukit yang sangat efektif untuk bersembunyi sekaligus melancarkan perang gerilya. Namun untuk meninggalkan Yogyakarta yang mulai dikepung pasukan Belanda dan bombardemen yang terus berlanjut tidak mudah. Sebagai penasehat, Harsono lalu menyarankan agar rombongan Pak Dirman mencari tempat persinggahan di luar benteng Keraton Yogyakarta yang dikenal sebagai Mangkubumen.
Berdasarkan kesepakatan, rombongan Pak Dirman yang terdiri dari dokter pribadinya, Dr Suwondo, Tjokropranolo, ajudan Supardjo Rustam, dan Harsono lalu berangkat ke Mangkubumen yang saat itu ditinggali ibu-ibu dari Keraton. Sebagai bangunan milik Sultan Yogyakarta, Mangkubumen masih merupakan properti yang tidak diganggu oleh militer Belanda sehingga persinggahan rombongan Pak Dirman dijamin aman.
Untuk menghindari patroli militer Belanda  yang saat itu sudah berada di daerah Kauman dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari Mangkubumen, rombongan Pak Dirman yang menggunakan sejumlah jip sengaja berangkat sore hari. Mobil jeep Pak Dirman yang dikemudikan sopir pribadinya, Ateng, ditumpangi  Supardjo Rustam yang duduk di sebelah kanan pengemudi. Sedangkan Pak Dirman duduk di tengah diapit Dr Suwondo di sebelah kanan dan Harsono di sebelah kiri. Sedangkan Tjokropranolo yang bertugas sebagai penunjuk jalan duduk di atas spakbor.
Bagi Tjokropranolo kawasan selatan Yogya bukan merupakan daerah asing karena sewaktu masih bersekolah di Yogya, ia sering bermain di Bantul apalagi pamannya pernah menjabat sebagai Bupati Bantul. Semula Tjkropranolo berniat membawa Pak Dirman ke Pantai Parangtritis (Bantul) dan bersembunnyi di goa, tapi karena Pak Dirman sedang sakit rencana itu dibatalkan dan kemudian diputuskan untuk bersembunyi di kawasan Gunung Kidul. (A Winardi)

Sumber : Angkasa
(artikel lengkapnya bisa dibaca di Maj. Angkasa edisi Februari 2013)

Dipertanyakan, Pilihan Australia atas Perangkat EA-18G Growler




Bulan-bulan belakangan ini, pecinta kedirgantaraan di Australia ramai membicarakan perangkat pengacak elektronik pesanan Pemerintah yang akan dipasang di tubuh 12 dari 24 F/A-18F.  Jammer ini dinilai tidak akan bisa mengimbangi ancaman terbaru yang bakal dihadapi RAAF.
            Membentengi negeri benua yang tersudut di selatan Pasifik, jauh dari teman-teman sekutu Barat, harus ekstra  kritis. Beginilah kenyataan yang harus dihadapi pemimpin pemerintahan Australia. Di sebut ekstra kritis, karena untuk membangun dan memodernisasi sistem pertahanan udara yang benar-benar cocok dan tepat pada kenyataannya tak mudah, meski untuk keperluan tersebut telah disiapkan anggaran yang amat besar.
            Pengamat militer dunia  tak bisa melupakan hingar-bingar yang terjadi ketika pada 2008 PM John Howard menyepakati pembelian 100 unit  jet tempur F-35A Joint Strike Fighter dan 24 F/A-18F Super Hornet dalam program modernisasi RAAF (Royal Australian Air Force). Semula Canberra berharap publik Australia mendukung keputusan ini, terlebih karena AS baru merestui segelintir saja negara yang boleh membeli jet tempur generasi kelima masa datang ini.
            Tetapi, harapan tinggal harapan. Meski publik mengakui PM John Howard telah berupaya memilih yang terbaik bagi sistem pertahanan Australia; pengembangan JSF yang hingga kini belum tuntas dan kerap dirundung masalah, tak ayal memancing kritik. Jet tempur yang dikatakan mulai operasional pada 2016 ini masih disebut-sebut masih overweight dan belum “memiliki” kokpit yang benar-benar tepat.
            Setelah debat soal JSF berlalu sekian tahun, belakangan pengamat militer di Australia kembali mengendus problem lain di seputar pesanan sistem pengacak elektronik untuk F/A-18F yang telah dipesan dari Boeing, AS.  Perangkat elektronik dimaksud adalah AN/ALQ-99, seperti yang dimiliki EA-6B Prowler, EF-111A Raven dan EA-18G Growler milik AL dan Marinir AS.
            Pertama kali dicobakan di medan pertempuran Vietnam, petinggi militer AS sempat mengagumi keampuhannya. Menempel di bodi jet EA-6B, AN/ALQ-99 buatan EDO Corporation bisa mengacak dan membungkam sinyal radar dan jaringan telekomunikasi Vietnam Utara. Kala itu, radar pertahanan udara Vietnam Utara merupakan momok yang menakutkan karena fasih mengendus  jet-jet tempur AS sehingga gampang ditembak rudal darat ke udara SA-2.
            Sistem AN/ALQ-99 yang terpasang pada Prowler, Raven dan Growler juga mengukir cerita gemilang dalam operasi militer di Libya (1986), Teluk (1991 & 2011), Irak (1992-2003) dan Balkan (1999). Kisah  inilah yang mendorong Dephan Australia memilihnya dan memasukkannya ke dalam Buku Putih Pertahanan 2009. “Kami memerlukan alut sita berkemampuan perang elektronik untuk mempertahankan superioritas udara,” tandas Menteri Pertahanan Stephen Smith  dalam situs abc.net.au (24/8/2012).

Indonesia  ikut diperhitungkan
            Perangkat jammer seharga 15 miliar dolar  itu dipastikan akan dipasang pada 12 dari 24 F/A-18F Super Hornet  RAAF yang telah beroperasi sejak 2010. Kedatangan tiga EA-18G Skadron Serang Elektronik 132 AL AS 5 Oktober 2012 ke Lanud Amberly, Australia, bahkan dilakukan untuk memuluskan rencana ini. Awak Skadron Serang Elektronik 132 dilaporkan telah meluangkan waktu beberapa minggu untuk mendidik calon penerbang pesawat elektronik RAAF.
            Masalahnya sekarang, meski terbilang sakti dan sempat beberapa kali di-upgrade untuk mengatasi kelemahannya, AN/ALQ-99 tak pernah jadi sistem pengacak elektronik yang benar-benar tangguh dan memuaskan operatornya.  Frekuensi AN/ALQ-99 dikatakan kerap berinterferensi dan mengganggu perangkat elektronik lain di kokpit. Frekuensinya juga kerap “mengganggu” kerja radar penjejak sasaran AESA (Active Electronic Scanned Array).
            Pihak Boeing sesungguhnya pernah merilis sederet kelemahan perangkat tersebut. Dan, mungkin karena sudah tak bisa dibenahi lagi, mereka lalu merancang penggantinya: Next Generation Jammer.  NGJ dikatakan “klop” bahkan mendukung kerja  AESA sebagai sistem pelacak sasaran udara, namun baru akan diterapkan pada F-35. (Meski begitu AL AS berhasil mendesak Boeing untuk memasangnya khusus pada jajaran EA-18F mereka).
            Kisruh tentang perangkat pengacak elektronik ini sendiri praktis mengemuka setelah Manager Program Integrasi F-35 Lockheed Martin, Tom Burbage menyampaikan secuil pendapat tentang AN/ALQ-99 di koran lokal. Perangkat yang akan dipasang pada 2018 ini, katanya, hanya akan efektif selama empat sampai lima tahun. Setelah itu F-35 pesanan Australia  yang telah dipasangi NGJ akan segera menggantikannya. (The Sydney Morning Herald, 24/8/2012)
            Para pecinta kedirgantaraan di Negeri Kangguru ini kontan tergerak untuk menelisik lebih jauh kelemahan AN/ALQ-99. Hasil “penelusurannya” pun langsung dituangkan di berbagai situs. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang tak tahan untuk menyampaikan kritik kepada Dephan. Seorang pengamat militer bernama Peter, misalnya, menyebut perangkat pengacak elektronik tersebut sebagai gagasan yang buruk. Harganya sangat mahal tapi tak banyak berguna.
            Ia menyatakan, pilihan tersebut sudah ketinggalan zaman dan tidak cocok dengan ancaman yang akan dihadapinya kelak. “Dengan peralatan ini bagaimana “dia” harus mengahadapi Su-30/S-300, Su-35S Super Flanker-E/S-400 dan T-50 PAK-FA/S-500? Katakan nanti akan diganti Next Generation Jammer, tapi saya sangsi dengan kesungguhan AS karena mereka telah berkali-kali mengalami problem anggaran dalam proyek-proyek pertahanannya,” tutur Peter seperti dimuat dalam australiaaviation.com.au (5/10/2012).
            “Saya tidak mengatakan pemerintah telah menggunakan data yang salah. Tapi ayolah (come on), masak perangkat ini yang dipilih?” komentarnya lagi.
            Pendapat Peter menuai banyak respon. Terlebih setelah ia mengatakan, bahwa pengembangan alut sista teknologi tinggi pada kenyataannya memang gampang ketinggalan zaman manakala di tempat lain juga dikembangkan alut sista yang lebih maju. “Ketika keputusan itu dibuat, siapa menduga kini China akan membuat  J-20 Mighty Dragon dan J-21/J-31. Kini, F-22 AS  bahkan harus berhitung menghadapinya,” katanya.
            Pesanan jet tempur Sukhoi Su-30MK2 dan 24 F-16C/D Block 32 Indonesia juga masuk dalam catatan yang harus diperhitungkan. Lalu, bagaimana pula dengan India yang telah memesan 126 Dassault Rafale untuk memperkuat 126 Su-30MKI-nya? Dan, Pakistan yang telah menyatakan minat untuk membeli 36 jet tempur J-10 bikinan China. Nah lho…(A. Darmawan)

Sumber : Angkasa