Jumat, 15 Februari 2013

Dipertanyakan, Pilihan Australia atas Perangkat EA-18G Growler




Bulan-bulan belakangan ini, pecinta kedirgantaraan di Australia ramai membicarakan perangkat pengacak elektronik pesanan Pemerintah yang akan dipasang di tubuh 12 dari 24 F/A-18F.  Jammer ini dinilai tidak akan bisa mengimbangi ancaman terbaru yang bakal dihadapi RAAF.
            Membentengi negeri benua yang tersudut di selatan Pasifik, jauh dari teman-teman sekutu Barat, harus ekstra  kritis. Beginilah kenyataan yang harus dihadapi pemimpin pemerintahan Australia. Di sebut ekstra kritis, karena untuk membangun dan memodernisasi sistem pertahanan udara yang benar-benar cocok dan tepat pada kenyataannya tak mudah, meski untuk keperluan tersebut telah disiapkan anggaran yang amat besar.
            Pengamat militer dunia  tak bisa melupakan hingar-bingar yang terjadi ketika pada 2008 PM John Howard menyepakati pembelian 100 unit  jet tempur F-35A Joint Strike Fighter dan 24 F/A-18F Super Hornet dalam program modernisasi RAAF (Royal Australian Air Force). Semula Canberra berharap publik Australia mendukung keputusan ini, terlebih karena AS baru merestui segelintir saja negara yang boleh membeli jet tempur generasi kelima masa datang ini.
            Tetapi, harapan tinggal harapan. Meski publik mengakui PM John Howard telah berupaya memilih yang terbaik bagi sistem pertahanan Australia; pengembangan JSF yang hingga kini belum tuntas dan kerap dirundung masalah, tak ayal memancing kritik. Jet tempur yang dikatakan mulai operasional pada 2016 ini masih disebut-sebut masih overweight dan belum “memiliki” kokpit yang benar-benar tepat.
            Setelah debat soal JSF berlalu sekian tahun, belakangan pengamat militer di Australia kembali mengendus problem lain di seputar pesanan sistem pengacak elektronik untuk F/A-18F yang telah dipesan dari Boeing, AS.  Perangkat elektronik dimaksud adalah AN/ALQ-99, seperti yang dimiliki EA-6B Prowler, EF-111A Raven dan EA-18G Growler milik AL dan Marinir AS.
            Pertama kali dicobakan di medan pertempuran Vietnam, petinggi militer AS sempat mengagumi keampuhannya. Menempel di bodi jet EA-6B, AN/ALQ-99 buatan EDO Corporation bisa mengacak dan membungkam sinyal radar dan jaringan telekomunikasi Vietnam Utara. Kala itu, radar pertahanan udara Vietnam Utara merupakan momok yang menakutkan karena fasih mengendus  jet-jet tempur AS sehingga gampang ditembak rudal darat ke udara SA-2.
            Sistem AN/ALQ-99 yang terpasang pada Prowler, Raven dan Growler juga mengukir cerita gemilang dalam operasi militer di Libya (1986), Teluk (1991 & 2011), Irak (1992-2003) dan Balkan (1999). Kisah  inilah yang mendorong Dephan Australia memilihnya dan memasukkannya ke dalam Buku Putih Pertahanan 2009. “Kami memerlukan alut sita berkemampuan perang elektronik untuk mempertahankan superioritas udara,” tandas Menteri Pertahanan Stephen Smith  dalam situs abc.net.au (24/8/2012).

Indonesia  ikut diperhitungkan
            Perangkat jammer seharga 15 miliar dolar  itu dipastikan akan dipasang pada 12 dari 24 F/A-18F Super Hornet  RAAF yang telah beroperasi sejak 2010. Kedatangan tiga EA-18G Skadron Serang Elektronik 132 AL AS 5 Oktober 2012 ke Lanud Amberly, Australia, bahkan dilakukan untuk memuluskan rencana ini. Awak Skadron Serang Elektronik 132 dilaporkan telah meluangkan waktu beberapa minggu untuk mendidik calon penerbang pesawat elektronik RAAF.
            Masalahnya sekarang, meski terbilang sakti dan sempat beberapa kali di-upgrade untuk mengatasi kelemahannya, AN/ALQ-99 tak pernah jadi sistem pengacak elektronik yang benar-benar tangguh dan memuaskan operatornya.  Frekuensi AN/ALQ-99 dikatakan kerap berinterferensi dan mengganggu perangkat elektronik lain di kokpit. Frekuensinya juga kerap “mengganggu” kerja radar penjejak sasaran AESA (Active Electronic Scanned Array).
            Pihak Boeing sesungguhnya pernah merilis sederet kelemahan perangkat tersebut. Dan, mungkin karena sudah tak bisa dibenahi lagi, mereka lalu merancang penggantinya: Next Generation Jammer.  NGJ dikatakan “klop” bahkan mendukung kerja  AESA sebagai sistem pelacak sasaran udara, namun baru akan diterapkan pada F-35. (Meski begitu AL AS berhasil mendesak Boeing untuk memasangnya khusus pada jajaran EA-18F mereka).
            Kisruh tentang perangkat pengacak elektronik ini sendiri praktis mengemuka setelah Manager Program Integrasi F-35 Lockheed Martin, Tom Burbage menyampaikan secuil pendapat tentang AN/ALQ-99 di koran lokal. Perangkat yang akan dipasang pada 2018 ini, katanya, hanya akan efektif selama empat sampai lima tahun. Setelah itu F-35 pesanan Australia  yang telah dipasangi NGJ akan segera menggantikannya. (The Sydney Morning Herald, 24/8/2012)
            Para pecinta kedirgantaraan di Negeri Kangguru ini kontan tergerak untuk menelisik lebih jauh kelemahan AN/ALQ-99. Hasil “penelusurannya” pun langsung dituangkan di berbagai situs. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang tak tahan untuk menyampaikan kritik kepada Dephan. Seorang pengamat militer bernama Peter, misalnya, menyebut perangkat pengacak elektronik tersebut sebagai gagasan yang buruk. Harganya sangat mahal tapi tak banyak berguna.
            Ia menyatakan, pilihan tersebut sudah ketinggalan zaman dan tidak cocok dengan ancaman yang akan dihadapinya kelak. “Dengan peralatan ini bagaimana “dia” harus mengahadapi Su-30/S-300, Su-35S Super Flanker-E/S-400 dan T-50 PAK-FA/S-500? Katakan nanti akan diganti Next Generation Jammer, tapi saya sangsi dengan kesungguhan AS karena mereka telah berkali-kali mengalami problem anggaran dalam proyek-proyek pertahanannya,” tutur Peter seperti dimuat dalam australiaaviation.com.au (5/10/2012).
            “Saya tidak mengatakan pemerintah telah menggunakan data yang salah. Tapi ayolah (come on), masak perangkat ini yang dipilih?” komentarnya lagi.
            Pendapat Peter menuai banyak respon. Terlebih setelah ia mengatakan, bahwa pengembangan alut sista teknologi tinggi pada kenyataannya memang gampang ketinggalan zaman manakala di tempat lain juga dikembangkan alut sista yang lebih maju. “Ketika keputusan itu dibuat, siapa menduga kini China akan membuat  J-20 Mighty Dragon dan J-21/J-31. Kini, F-22 AS  bahkan harus berhitung menghadapinya,” katanya.
            Pesanan jet tempur Sukhoi Su-30MK2 dan 24 F-16C/D Block 32 Indonesia juga masuk dalam catatan yang harus diperhitungkan. Lalu, bagaimana pula dengan India yang telah memesan 126 Dassault Rafale untuk memperkuat 126 Su-30MKI-nya? Dan, Pakistan yang telah menyatakan minat untuk membeli 36 jet tempur J-10 bikinan China. Nah lho…(A. Darmawan)

Sumber : Angkasa

1 komentar: